Friday, March 24, 2006

IMSAK

Makan sahur ketika akan berpuasa keesokan harinya adalah hal yang sangat disunnahkan dalam Islam, karena itulah Rasulullaah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur ada berkah bagi seorang Muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits dari Anas bin Malik Radhiyallaahu 'Anhu riwayat Bukhari dan Muslim (yang terjemahannya):

"sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah."

Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi'ar Islam yang sangat agung yang membezakan kaum Muslimin dari orang-orang yahudi dan nasrani, sebagaimana dalam hadith dari 'Amr bin 'Ash Radhiyallaahu 'Anhu riwayat Muslim (yang ter-jemahannya):

"Dan beza antara puasa kami dengan puasa ahlul kitab adalah makan sahur."

Namun pada saat ini telah muncul istilah imsak yang mengakibatkan sebahagian kaum Muslimin meninggalkan sunnah makan sahur. Ketika kaum Muslimin bangun tatkala mendengar tanda datangnya imsak, maka mereka tidak lagi bersahur sehingga lenyaplah berkah yang telah ALLAH Subhanahu wa Ta'ala janjikan bagi Kaum Muslimin pada makan sahur.

Adapun istilah imsak telah sangat dikenal di kalangan kaum Muslimin. Imsak adalah tidak makan dan minum pada waktu sahur karena waktu sudah mendekati atau waktu sahur sudah dianggap habis. Pada masa kita sekarang ini, imsak diisyaratkan dengan suara tarahim, mengaji al-Qur’an, dari radio-radio dan lain-lain. Pada zaman Ibnu Hajar al-Asqalani ada bentuk lain dari imsak, yaitu memadamkan lampu sebagai petanda haramnya meneruskan makan dan minum bagi siapa yang ingin berpuasa pada keesokan harinya. Bagaimanakah sebenarnya duduk perkara yang benar tentang masalah ini ?

Pembahasan

Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullah mengatakan dalam Fathul Bary IV/199 (terjemahannya). (Beliau adalah seorang ulamak besar sangat sangat terkenal keseluruh dunia Islam, dan beliau dikatakan bermazhab Syafie).

" Catatan penting :

Termasuk Bid'ah yang mungkar adalah apa yang di zaman sekarang direka adanya yaitu meletakkan kumandang adzan kedua pada tiga perempat jam sebelum subuh di Bulan Ramadhan; serta memadamkan lampu-lampu sebagai pertanda (telah datangnya waktu) haram untuk (melanjutkan) makan dan minum bagi yang berpuasa (keesokan harinya). Orang yang membuat rekaan ini beranggapan bahwa hal itu dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui batas akhir waktu sahur hanya segelintir manusia.

Sikap hati-hati yang demikian juga menyebabkan mereka tidak mengizinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat kemudian, supaya lebih mantap lagi (menurut mereka).

Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka mempercepat waktu sahur dan suka menyalahi sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan tetapi banyak mendapatkan keburukan.

Wallaahu al musta'an."

Itulah bid'ah yang terjadi pada zaman al Hafidzh Ibnu Hajar al-Asqalani berkaitan dengan pembatasan waktu sahur sebelum shubuh, dengan cara memadamkan lampu sebagai tanda berhati-hati, jangan-jangan waktu sahur telah habis.

Kini bid'ah itu muncul pula dalam bentuk imsak. Syaikh 'Abdullaah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, seorang tokoh ulama Nejd, Saudi Arabia menyusun kitab Taisir al-Allam Syarh Umdatul Ahkam (I/415, Maktabah Daar al- Faiha' dan maktabah Daar As-Salaam, cet I 1414 H - 1994 M, projek Jum'iyah Ihya' at-Turats al-Islami - Kuwait), mengatakan setelah memaparkan penjelasan hadith nombor 177 (terjemahannya):

"Dengan ini kita dapat mengetahui bahwa dua waktu yang dibuat orang iaitu waktu imsak untuk mulai tidak makan/minum di waktu sahur dan waktu terbit fajar, adalah bid'ah, sama sekali tidak ada petunjuknya dari ALLAH Subhanahu wa Ta'ala. Itu hanya waswasah (bisikan) syaitan untuk mengotori kemurnian Dinul Islam. Imsak (menahan makan dan minum) yang sebenarnya menurut sunnah Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wasallam adalah pada saat terbit fajar itu sendiri."

Jadi, jelaslah bahwa istilah imsak dengan isyarat-isyaratnya yang lazim dikenal sekarang ini adalah perkara baru dalam islam yang tidak pernah dicontohkan oleh para generasi terbaik (salafusshaleh). Dan jika istilah ini dibuat untuk berhati-hati, maka ketahuilah bahwa Rasulullaah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam kemudian para shahabat beliau Radhiyallaahu 'Anhum adalah orang-orang yang paling berhati-hati dalam masalah agama ini. Namun mereka tidak pernah membuat batasan untuk berhenti dari makan dan minum dalam berpuasa kecuali dengan apa yang telah ALLAH Subhanahu wa Ta'ala tetapkan, yaitu terbitnya fajar.

Apakah kita menganggap bahwa diri kita lebih wara' (berhati-hati) daripada mereka semua . ? wallaahu al musta'an.

Tuntunan makan sahur


Dalam hadith Zaid bin Tsabit Radhiyallaahu 'Anhu riwayat Bukhari dan Muslim (yang terjemahannya):

"Kami bersahur bersama Rasulullaah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya berkata (Anas bin Malik): berapa jarak antara keduanya (antara sahur dengan adzan)? ia menjawab : lima puluh ayat."

Dari hadith di atas dapat diperoleh beberapa faedah sebagai berikut: disunnahkannya makan sahur secara bersama (berjama'ah) dan disunnahkannya mengakhirkan sahur sampai dekat dari adzan shubuh. Jadi, awal makan sahurnya Rasulullaah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dengan adzan shubuh adalah selama membaca lima puluh ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek serta dibaca dengan tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, (kira-kira 20 sampai 25 minit).


Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mukmin adalah korma.


Sebagaimana dalam hadith Abu Hurairah Radhiyallaahu 'Anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih, Rasulullaah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda (yang terjemahannya):

"sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah kurma."

Sedangkan batas akhir bolehnya makan sahur adalah sampai adzan shubuh, apabila telah masuk adzan shubuh maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al Baqarah : 187:


أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ {187


"Makan dan minumlah kalian hingga jelas nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam iaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam."

Apabila telah yakin akan masuk waktu shubuh dan seseorang sedang makan atau minum maka hendaknya berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baaz dan anggota al Lajnah ad-Daimah (semacam MUI di Arab Saudi) dan juga Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'y dan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Namun perlu diketahui bahwa dalam masalah ini (apakah memuntahkan atau meneruskan memakan makanan yang masih tersisa di tempat makanan/piring ketika fajar telah tiba) ulama berbeza pendapat dan diantara ulama yang berkesimpulan akan bolehnya meneruskan makanan adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany (dalam Tamaamul minnah) dengan berdalil kepada hadith Abu Hurairah Radhiyallaahu 'Anhu yang dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Hakim.

Adapun, bila belum yakin akan masuknya fajar, maka dibolehkan untuk tetap bersahur sampai adanya keyakinan akan hal tersebut.

Wallaahu a'lam.

Rujukan :


- Majalah As-Sunnah.

- "Panduan Berpuasa di Bawah Naungan Al-Qur'an dan As-Sunnah", Dzulqarnain al-Atsary, Pustaka Al Haura.

No comments: