[1]. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadith-hadith tentang Rejab,Raghaa-ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul. [Lihat al-Maudhu’at (II/123-126)]
[2]. Kata Imam an-Nawawi:“Solat Raghaa-ib ini adalah satu bidah yang tercela, munkar dan tercela.”[Lihat as Sunan wal Mubtada’at (hal. 140)]Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam Khilidhir, penulis kitab as-Sunan Wal Mubtada’at berkata: “Keta-huilah setiap hadith yang menerangkan solat diawal Rejab, pertengahan atau di akhir Rejab, semuanya tidak bias diterima dan tidak boleh diamalkan.” [ Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141)]
[3]. Kata Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut: “Tidak satupun hadith yang sah tentang bulan Rejab sebagai-mana kata Imam Ibnu Rejab.” [Lihat AsnalMathaalib (hal. 157)]
[4]. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun solat Raghaa-ib, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan termasuk bidah.... Atsar yang menyatakan (tentang solat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam...”Selanjutnya beliau berkata lagi: “Solat Raghaa-ib adalah BIDAH”. Menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh melaksanakan solat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifahsesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan solat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad,Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan Selain mereka.
Hadith-hadith yang diriwayatkan tentang itu adalah dusta menurut Ijma’Para Ahli Hadith. Demikian juga solat malam pertama bulan Rejab, malam Isra’,Alfiah nisfu Syaban, solat Ahad, isnin dan solat hari-hari tertentudalam satu pekan, meskipun disebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidakdiragukan lagi oleh orang yang mengerti hadith-hadith tentang hal tersebut, semuanya adalah hadith palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka) menyunnahkan solat ini... Wallahu a’lam.”[ Lihat Majmu’ Fataawa(XXIII/132, 134)]
[5]. Kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:“Semua hadith tentang solat Raghaa-ib pada malam Jum’at pertama dibulan Rejab adalah dusta yang diada-adakan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua hadith yang menyebutkan puasa Rejab dan solatpada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang diada-adakan.”[Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif (hal. 95-97, no.167-172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu Ghaddah]
[6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rejab: “Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rejab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rejab, serta tidak ada pula hadith yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang solat malam khusus di bulan Rejab.”
[7]. Imam al-‘Iraqy yang menbetulkan hadith-hadith yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadith tentang puasa dan solat Raghaa-ib adalah hadith maudhu’ (palsu).[Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin(I/202)]
[8]. Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibra-himal-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rejab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah filAhaaditsil Maudhu’ah (hal. 381)]
[9]. Syaikh Abdus Salam, penulis kitab as-Sunan wal Mub-tada’at menyatakan:“Bahwa membaca kisah tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya pada malam tanggal dua puluh tujuh Rejab adalah BIDAH. Berdzikir dan mengadakan peribadahan tertentu untuk merayakan Isra’ dan Mikraj adalah BIDAH, do’a-do’a yang khusus dibaca pada bulan Rejab dan Syaban semuanya tidak ada sumber (asal pengambilannya) dan BIDAH, sekiranya yang demikian itu perbuatan baik, niscaya para Salafush Shalih sudah melaksanakannya.”[Lihatas-Sunan wal Mubtada’at (hal. 143)]
[10]. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts ‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata dalam kitabnya, at-Tahdzir minal Bida’ (hal. 8): “Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak pernah mengadakan upacara Isra’dan Mikraj dan tidak pula mengkhususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika peringatan malam tersebut disyar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Jika pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,pasti diketahui dan masyhur, dan tentunya akan disampaikan oleh para Shahabat kepada kita...Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memberi nasihat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya sebaik-baik penyampaian dan telah menja-lankan amanah Allah dengan sempurna.Oleh karena itu, jika upacara peringatan malam Isra’ dan Mikraj danmerayakan itu dari agama Allah, ten-tunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, maka jelaslah bahwa upacara tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali.
Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini,men-cukupkan nikmat-Nya dan Allah mengingkari siapa saja yang berani mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, karena cara tersebut Tidak dibenarkan oleh Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ {3
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]
KHATIMAH
Orang yang mempunyai bashirah dan mau mendengarkan nasehat yang baik, dia akan berusaha meninggalkan segala bentuk bidah, karena setiap bidah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:“Artinya : Tiap-tiap bidah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.”[HSR. An-Nasa'i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)]
Para ulama, ustaz yang masih membawakan hadith-hadith yang lemah dan palsu, maka mereka digo-longkan sebagai pendusta. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:Dari Samurah bin Jundub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang-siapa yang menceritakan satu hadith dariku, padahal dia tahu bahwa hadith itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari dua pendusta.” [HSR. Ahmad (V/20), Muslim (I/7) dan Ibnu Majah (no. 39)]
MARAJI’
[1]. Shahih al-Bukhari.
[2]. Shahih Muslim.
[3]. Sunan an-Nasaa-i.
[4]. Sunan Ibni Majah.
[5]. Musnad Imam Ahmad.
[6]. Shahih Ibni Hibban.
[7]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
[8]. Maudhu’atush Shaghani.
[9]. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[10]. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H.[11]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[12]. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Hadithil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky.
[13]. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Ma’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H.
[14]. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani.
[15]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[16]. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[17]. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri.
[18]. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[19]. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy.
[20]. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[21]. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy.
[22]. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khilidhir.
[23]. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut.
[24]. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[25]. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[26]. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rejab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[27]. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly.
[28]. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
[29]. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
No comments:
Post a Comment